UMK News - Di sekolah, matematika sering kali hadir sebagai momok. Ia datang dengan wajah serius, penuh angka, rumus, dan tekanan waktu. Tak sedikit siswa yang merasa cemas setiap kali pelajaran ini tiba. Bahkan bagi sebagian orang dewasa, ketakutan terhadap matematika seolah menjadi trauma kolektif yang terus diwariskan.

Namun, benarkah matematika sebegitu menakutkannya? Atau jangan-jangan, seperti kata Dr. Uba Umbara, dosen matematika di Universitas Muhammadiyah Kuningan, kita memang keliru dalam mengenalkan dan mengajarkannya?

“Matematika itu bukan hanya hitung-hitungan. Kita harus bisa melepaskan mahasiswa atau siswa dari sekadar hitungan. Mereka harus diajak berpikir,” ujarnya saat berbincang dengan kuninganglobal.

Pernyataan ini membuka pintu perenungan. Mungkin memang masalahnya bukan pada matematika itu sendiri, melainkan pada cara kita memperkenalkannya, sebagai sesuatu yang kaku, jauh dari kenyataan, dan kurang makna.

Dr. Uba menyoroti bagaimana sistem pendidikan kita terlalu fokus mengejar target kurikulum. Di Indonesia, satu tahun ajaran harus menuntaskan satu buku penuh. Di Jepang, cukup satu atau dua bab, tetapi dipelajari dengan mendalam dan penuh eksplorasi.

“Di Jepang, siswa dibiasakan berpikir mandiri. Bab-bab berikutnya mereka pelajari sendiri karena sudah memahami prasyaratnya. Di kita, hampir semua disampaikan guru. Siswa hanya mengikuti,” katanya.

Sebagai peneliti yang menaruh perhatian pada etnomatematika, Dr. Uba melihat bahwa solusi bisa datang dari pendekatan yang lebih kontekstual dan membumi. Etnomatematika adalah jembatan antara ilmu dan budaya. Ia memperlihatkan bahwa matematika tidak hidup di ruang kelas saja, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari siswa.

“Etnomatematika bisa jadi bahan ajar tambahan yang mendekatkan siswa pada kehidupan mereka sendiri. Ia hadir sebagai pendekatan yang tidak hanya mengenalkan konsep matematika melalui budaya, tetapi juga sebagai upaya membangun kedekatan emosional siswa terhadap pelajaran ini. Ketika siswa menemukan bahwa matematika juga hidup dalam tradisi, permainan, dan aktivitas sehari-hari mereka, maka rasa asing terhadap matematika mulai mencair.

Siswa tidak lagi merasa bahwa matematika adalah milik ‘orang pintar saja’, melainkan sesuatu yang juga tumbuh dalam ruang hidup mereka. Kita bisa menggali pengetahuan orang tua kita dan menjadikannya bagian dari proses belajar,” jelas Dr. Uba.

Pendekatan ini juga sejalan dengan prinsip learning by doing. Siswa diajak mengalami, bukan sekadar menghafal. Di sinilah pentingnya memahami bahwa matematika memiliki bentuk yang bertingkat: dari konkret, semi-konkret, semi-abstrak, hingga abstrak. Maka, pembelajaran sebaiknya dimulai dari hal yang nyata.

“Biarkan siswa membuktikan sendiri kebenaran suatu konsep. Dari sana, akan lahir curiosity,” ujarnya. Lalu dari curiosity tumbuh skeptisisme, kemauan untuk mempertanyakan, bukan asal menerima. Dari skeptisisme itulah muncul pemikiran divergen: kemampuan melihat sesuatu dari berbagai sudut.

Matematika, dalam pengertian yang paling dalam, bukan tentang hafalan rumus. Ia adalah latihan mental untuk berpikir kritis, membangun argumen, dan menemukan pola dalam kekacauan. Ia bisa mengajarkan kita kesabaran, ketelitian, bahkan keindahan.

Jika kita ingin generasi masa depan mencintai matematika, mungkin kita perlu mulai dengan satu hal: mengajarkannya dengan cara yang lebih manusiawi. Membangun rasa ingin tahu, memberikan ruang untuk gagal dan mencoba, serta mengaitkannya dengan realitas hidup yang mereka kenal.

Karena cinta pada matematika tak lahir dari paksaan, tapi dari rasa menemukan, bahwa logika bisa membebaskan, dan bahwa dalam setiap angka, ada cerita yang menunggu untuk dipahami.

Oleh: Dr Uba Umbara, M.M.,M.Pd (Dosen Prodi Matematika UM Kuningan)